Skandal Jalang Ken Dedes & misteri keris Mpu Gandring



Skandal Pertama Tanah Jawa
“Aku takut kangmas, nanti kita ketahuan Kuwu Ametung, ” ujar seorang wanita jelita seraya membenamkan wajahnya kedada telanjang seorang pria muda.
“Jangan takut, diajeng. Aku, Ken Arok akan melindungimu, Ken Dedes, dengan segenap jiwa dan cintaku,” jawab si pria, jumawa.
“Kuwu Ametung pasti tak akan segan membunuh kita berdua jika ia tahu, kangmas.”
“Ya, aku tahu, diajeng. Biarlah kita bersatu selamanya di alam nirwana jika memang itu yang akan terjadi,” lembut Ken Arok mengusap rambut hitam Ken Dedes yang tergerai lurus menutupi punggung mulus setengah telanjang berbalut selendang hijau.
“Ssrrt..”
“Siapa itu,?” bisik Ken Arok terkesiap didengarnya suara langkah menjauh. Naluri perwiranya membuatnya yakin bahwa ada sepasang kaki pengintai yang bergerak menjauh. Dilepasnya rengkuhannya pada Ken Dedes, segera dikejarnya langkah kaki itu.
Sepeninggal Ken Arok, Ken Dedes segera lompat ke pintu dalem Kaputren itu. Panik sekali ia menutup pintunya rapat- rapat. “Ahk, yang bisa masuk kelingkungan Kaputren ini hanya Kuwu Ametung dan pamanku sendiri, Mpu Gandring yang kini menjadi ayah pengganti, karena ayah kandungku, Mpu Purwa telah tiada. Kalaupun Ken Arok, ia harus melalui pintu belakang Kaputren yang hanya dapat dibuka dari dalam rumah kepala dayang, si perawan tua yang juga sudah ikut menutupi hal ini karena sudah diberi beberapa tail emas. Lalu siapa?” bathin Ken Dedes, gundah.
Ken Arok bergerak cepat. Sudut matanya sempat melihat sekelebat punggung orang yang menghilang di balik pintu gerbang yang di jaga ketat.”Mpu Gandring, sial! Tak mungkin aku melewati pintu gerbang Kaputren mengejarnya. Itu sama saja bunuh diri. AKu harus kembali melewati pintu belakang, tembus ke rumah si kepala dayang. Sial, ia pasti meminta setail emas lagi,” bathin Ken Arok menggerutu.
“Ken Dedes, aku tak menyangka kau berbuat seperti itu, ” bathin Mpu Gandring sedih seraya menaiki pedatinya meninggalkan Kaputren, kembali kerumahnya dipinggiran kota Tumapel. Sepanjang perjalanan Mpu Gandring menggeleng- gelengkan kepala, tak habis pikir.
Memasuki bengkel pembuatan keris yang sepi tak ada satu manusiapun, Ken Arok dengan tenang mendudukan diri di sudut dinding kayu yang agak gelap. “Akan kutunggu disini kau, Gandring. Masakan sepuluh tail emas tak cukup membuatmu diam tak bicara,” bisik hatinya, menyakinkan diri skandalnya tak akan pernah terbongkar.
“Siapa di dalam, ” tiba- tiba terdengar suara berat seorang tua menegur. “Aku tahu ada orang didalam karena setiap bepergian selalu kutinggalkan tanda yang hanya aku yang mengetahuinya, bila bengkelku sudah dimasuki orang. Keluarlah!” Mpu Gandring memasuki bengkelnya dengan menebar pandang.
“Aku, Ken Arok, Mpu,” akhirnya Ken Arok bangkit dari duduknya yang tersembunyi seraya menunjukan diri.
“Kamu! Mau apa kamu menginjak tanahku, hah! Pergi kamu! Aku tahu perbuatanmu dengan putriku anak dari saudaraku Mpu Purwa, Ken Dedes!” Mpu Gandring mengumpat tanpa tedeng aling- aling.
“Maafkan aku, Mpu. Aku dan Ken Dedes saling mencintai. Tak pantas rasanya si gendut tua bangkotan itu mengawininya,” Ken Arok membela diri sekaligus menunjukan kelebihannya dari Kuwu Ametung.
“Apa katamu? Kamu yang tidak pantas!”
“Tenang Mpu. Aku kemari meminta maafmu dan sekaligus ingin memberimu sepuluh tail emas ini,” bujuk Ken Arok lembut. Tanpa menunggu jawaban diangsurkannya kantung kulit berisi sepuluh tail emas yang sudah dipersiapkannya sedari tadi, sejak berusaha menyusul Mpu Gandring untuk tiba lebih dahulu di bengkel keris itu.
“Apa!? Kau pikir aku sudi memakan uangmu!? Uang haram! Uang skandal putriku tak akan sudi aku menerimanya. Bawa pergi dan kau juga enyahlah dari tanahku,!” sembur Mpu Gandring meledak.
“Mpu, kau tak mungkin membocorkan rahasia kami, karena itu sama saja engkau membunuh putrimu sendiri,” dalih Ken Arok mencoba untuk melunakan hati si orang tua pengrajin keris itu.
“Aku tahu. Tetapi anak muda enyahlah kau dari Tumapel atau kau akan mati! Kuwu Ametung memesan padaku sebilah keris yang akan menjadikannya raja terbesar di tanah Jawa. Dan esok keris itu akan selesai. Saat ia kemari untuk mengambil keris pesanannya, saat itu juga aku akan meminta maharnya, yakni jiwa kepala pasukannya, yaitu jiwamu, haha. Percayalah ia akan membayarnya untuk itu. Ya, Itu artinya engkau harus enyah dari Tumapel selam- lamanya jika ingin selamat.”
“Gila! Masakan mahar seperti itu?”
“Ya, anak muda. Terpaksa, daripada putriku terus menjadi sasaran napsu bejadmu itu!”
“Hmm.., baiklah Mpu. Izinkan aku melihat keris yang membuatku minggat selama- lamanya dari Tumapel itu. Izinkan sebelum aku pergi.”
“Tidak layak bagimu untuk melihat keris itu. Pergilah sebelum aku habis sabar, anak muda.”
“Aku tidak akan pergi, Mpu. Kalaupun aku harus mati, kan kubawa putrimu bersama. Biarlah Kuwu Ametung mengetahui segalanya. Biarlah aku dan Ken Dedes menyatu di nirwana.”
Mpu Gandring menatap Ken Arok lekat- lekat. Bila saja ia masih muda, pasti sudah diterjangnya pemuda kurang ajar ini. Beradu tatap, iapun melihat kesungguhan dan kekerasan hati Ken Arok. “Baik, demi putriku. Kau boleh lihat keris pesanan Kuwu Ametung dan setelah itu, minggat!”
“Baik, Mpu. Satria tak akan ingkar janji, ” tukas Ken Arok menyakinkan.
Meraba bawah tungku penggodokan batang besi, Mpu Gandringpun berkata, “Ini keris itu.” Dibukanya warangkanya, telanjang keris itu bersinar gemerlapan diterpa sinar mentari senja yang menerobos dinding kayu.
“Bukan main, luar biasa pamor dan luknya sungguh tiada duanya. Belum pernah kulihat keris seperti itu,” ujar Ken Arok seraya reflek mengulurkan tangan meraih keris yang masih berdiri menunjuk langit dalam genggaman Mpu Gandring.
Melambung hasil karyanya dipuji tanpa sadar Mpu Gandring membiarkan Ken Arok mengambil alih, keris dalam genggamannyapun berpindah tangan.
“Cress! Srapp!”
“Aduh apa yang kau. perbuat anak muda!” Mpu Gandring terkejut seraya tangannya memegang dadanya yang ngilu luar biasa tertembus bilah keris hingga melesak separuh badan.
“Terpaksa, Mpu. Terpaksa, aku harus membunuhmu.”
“Ter..kutuk kau anak muda, aku bersumpah…aduh dadaku.. akan bersemayam…di keris ini…se..lamanya…hingga terbayar 7 nyawa termasuk kau dan turunanmu…orhkgg,” Mpu Gandring melepas nyawa dengan mata membelalak menatap pembunuhnya tanpa kedip.
Di bawah bayang bulan purnama, seorang lelaki memacu kudanya kesetanan.Sampai tempat tujuan ditambatkannya tali kekang kudanya pada sebatang pohon randu. Melangkah meniti anak tangga ia berkata pelan, “Kepala dayang, buka pintunya. Cepat, sebelum ada yng datang, buka pintu”
“Srrt..klk” Pintu terbuka seraut wajah wanita setengah baya muncul dari baliknya. “Ken Arok, cepat masuk gila sekali kelakuan mu ini. Bagaimana jika ada yang tahu kau memasuki rumahku? Ingat kita belum nikah, apa kata mereka nanti?”
“Hush! Siapa yang ingin menikah denganmu, aku ingin ke Kaputren menemui Ken Dedes. “
“Gila! Bagaimana bila kau dipergoki Kuwu Ametung,?” desis kepala dayang ketakutan.
“Tidak akan, ia sedang ada di desa Kagen, mungkin esok baru pulang atau paling cepat tengah malam nanti. Sudah sana, buka pintu Kaputren, cepat!”
Di bawah temaram lampu minyak, dua insan bergelut liar. Dua napas memburu saling memacu.
“Brak!” Pintu dalem Kaputren terdobrak.
“Apa Ini!? Ken Arok!? Kau setubuhi istriku, kau sudah gila dan harus mati,” Tunggul Ametung menerobos masuk, mengagetkan dua insan yang tengah asyik masyuk itu.
Melepaskan pagutan dari Ken Dedes, Ken Arok segera melompat ke sisi ranjang. Menjamah keris yang berhasil dirampasnya dari Mpu Gandring. Mencabut dari warangka, Ken Arok tanpa basa- basi segera menghambur ke Tunggul Ametung yang masih terkaget- kaget atas kelakuan dua insan di mabuk cinta itu.
“Crappt,!” keris mendarat mulus di dada kiri Tunggul Ametung.
“Jahanaammm…,!” Tunggul Ametung melolong meregang nyawa, memegangi dadanya yang tertancap keris yang dipesannya sendiri, melesak hingga genggaman.
Ken Dedes menangis sesenggukan.
“Tenang, diajeng. Aku akan bersembunyi di balik pohon depan dalem Kaputren ini. Engkau berteriaklah minta pertolongan. Bila nanti ada prajurit pertama yang datang, berarti itulah pembunuh suamimu. Tinggal kau tunjuk hidungnya, dan ia akan segera kubunuh. Terlepaslah kita dari masalah ini. Apakah kau mengerti maksudku, diajeng,?” tanya Ken Arok penuh harap.
Ken Dedes menganggukan kepala, ia masih trauma dengan apa yang berlangsung di depan matanya yang masih sarat dengan linangan.
Seorang prajurit datang tergopoh- gopoh seketika mendengar teriakan minta tolong Ken Dedes yang mengguncang Tumapel. Berdiri di depan pintu peraduan Kuwu Ametung, ia terkesiap. “Siapa yang melakukan ini, paduka putri? Siapa?”
Ken Dedes tak menjawab, tangisnya makin menjadi.
Tak berapa lama peraduan itupun dipenuhi sekelompok prajurit yang masygul dan gamang. Mayat Akuwu mereka yang tertancap sebilah keris dan Ken Dedes yang masih meraung- raung menyebabkan mereka tak bisa bernalar jernih.
“Ada apa ini, ada apa!?”
“Ampun, Senopati Ken Arok. Paduka Kuwu terbunuh,” salah seorang prajurit menerangkan kepada Ken Arok yang datang tergopoh- gopoh.
Menatap Ken Dedes, Ken Arok membentak, ” Paduka putri, cepat katakan siapa pembunuh Akuwu kami, Tunggul Ametung atau kau akan kami bunuh karena tangismu itu!”
Ken Dedes tak bersuara. Perlahan tangannya terangkat menunjuk si prajurit yang pertama kali datang.
“Kebo Ijo! Kaukah pembunuh Akuwu kita!? Jahanam,!?” bentak Ken Arok garang telunjuknya menuding dahsyat.
“Bukan aku.., bukan.., Paduka putri..,” Kebo ijo menatap Ken Dedes kebingungan bercampur kengerian teramat sangat.
Sigap Ken Arok mencabut keris yang menempel di tubuh Tunggul Ametung yang telah tak bernyawa dan, “CreePP!”
Keris menancap dalam jantung Kebo Ijo.
“Arghh..,” Kebo ijo mengeluarkan erangan maut, nyawanya lepas.
Para prajurit terkesima.
“Cepat, kalian bereskan ruangan ini dan letakan jenazah Akuwu kita di pura. Esok kita akan adakan upacara penghormatan terakhir padanya.” Ken Arok mengeluarkan perintah membuyarkan kebingungan.
Tak lama setelah para prajurit itu berlalu sibuk menjalankan titah Ken Arok, Ken Dedespun tersenyum.